Kisah Dokter "Gratis" asal Solo, Dr. Lo Siaw Ging
Ketika biaya perawatan dokter dan rumah sakit semakin membubung tinggi, tidak ada yang berubah
dari sosok Lo Siaw Ging, seorang dokter di Kota Solo, Jawa Tengah. Dia tetap merawat dan mengobati
pasien tanpa menetapkan tarif, bahkan sebagian besar pasiennya justru tidak pernah dimintai bayaran.
Maka, tak heran kalau pasien-pasien Lo Siaw Ging tidak hanya warga Solo, tetapi juga mereka yang
berasal dari Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri. Usianya yang sudah
menjelang 75 tahun tak membuat pria itu menghentikan kesibukannya memeriksa para pasien.
Dokter Lo, panggilannya, setiap hari tetap melayani puluhan pasien yang datang ke tempatnya praktik
sekaligus rumah tinggalnya di Jalan Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Kota Solo. Mayoritas pasien Lo
adalah keluarga tak mampu secara ekonomi. Mereka itu, jangankan membayar ongkos periksa, untuk
menebus resep dokter Lo pun sering kali tak sanggup.
Namun, bagi Lo, semua itu dihadapinya dengan ”biasa saja”. Dia merasa dapat memahami kondisi
sebagian pasiennya itu. Seorang pasiennya bercerita, karena terlalu sering berobat ke dokter Lo dan
tak membayar, ia merasa tidak enak hati. Dia lalu bertanya berapa biaya pemeriksaan dan resep
obatnya.
Mendengar pertanyaan si pasien, Lo malah balik bertanya, ”Memangnya kamu sudah punya uang
banyak?”
Pasiennya yang lain, Yuli (30), warga Cemani, Sukoharjo, bercerita, dia juga tak pernah membayar
saat memeriksakan diri. ”Saya pernah ngasih uang kepada Pak Dokter, tetapi enggak diterima,”
ucapnya.
Kardiman (45), penjual bakso di samping rumah dokter Lo, mengatakan, para tetangga dan mereka
yang tinggal di sekitar rumah dokter itu juga tak pernah diminta bayaran. ”Kami hanya bisa bilang
terima kasih dokter, lalu ke luar ruang periksa,” katanya.
Cara kerja Lo itu membuat dia setiap bulan justru harus membayar tagihan dari apotek atas resep-
resep yang diambil para pasiennya. Ini tak terhindarkan karena ada saja pasien yang benar-benar tak
punya uang untuk menebus obat atau karena penyakitnya memerlukan obat segera, padahal si pasien
tak membawa cukup uang.
Dalam kondisi seperti itu, biasanya setelah memeriksa dan menuliskan resep untuk sang pasien, Lo
langsung meminta pasien dan keluarganya menebus obat ke apotek yang memang telah menjadi
langganannya. Pasien atau keluarganya cukup membawa resep yang telah ditandatangani Lo, petugas
di apotek akan memberikan obat yang diperlukan.
Pada setiap akhir bulan, barulah pihak apotek menagih harga obat tersebut kepada Lo. Berapa besar
tagihannya? ”Bervariasi, dari ratusan ribu sampai Rp 10 juta per bulan.”
Bahkan, pasien tak mampu yang menderita sakit parah pun tanpa ragu dikirim Lo ke Rumah Sakit
Kasih Ibu, Solo. Dengan mengantongi surat dari dokter Lo, pasien biasanya diterima pihak rumah sakit,
yang lalu membebankan biaya perawatan kepada Lo.
Nama dokter Lo sebagai rujukan, terutama bagi kalangan warga tak mampu, relatif ”populer”. Namun,
mantan Direktur RS Kasih Ibu ini justru tak suka pada publikasi. Beberapa kali dia menolak permintaan
wawancara dari media.
”Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya bukan siapa-siapa,” ujarnya.
Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini sekadar membantu mereka yang tak mampu dan
membutuhkan pertolongan dokter. ”Apa yang saya lakukan itu biasa dilakukan orang lain juga. Jadi, tak
ada yang istimewa,” ujarnya.
Menjadi dokter, bagi Lo, adalah sebuah anugerah. Dia kemudian bercerita, seorang dokter di Solo
yang dikenal dengan nama dokter Oen, seniornya, dan sang ayahlah yang membentuk sosoknya.
Dokter Oen dan sang ayah kini telah tiada.
Lo selalu ingat pesan ayahnya saat memutuskan belajar di sekolah kedokteran. ”Ayah saya berkali-kali
mengatakan, kalau saya mau jadi dokter, ya jangan dagang. Kalau mau dagang, jangan jadi dokter.
Makanya, siapa pun orang yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus terbuka. Saya tidak
pasang tarif,” kata Lo yang namanya masuk dalam buku Kitab Solo itu.
Papan praktik dokter pun selama bertahun-tahun tak pernah dia pasang. Kalau belakangan ini dia
memasang papan nama praktik dokternya, itu karena harus memenuhi peraturan pemerintah.
Tentang peran dokter Oen dalam dirinya, Lo bercerita, selama sekitar 15 tahun dia bekerja kepada
dokter Oen yang dia jadikan sebagai panutan. ”Dokter Oen itu jiwa sosialnya tinggi dan kehidupan
sehari-harinya sederhana,” ujarnya.
Dari kedua orang itulah, Lo belajar bahwa kebahagiaan justru muncul saat kita bisa berbuat sesuatu
bagi sesama. ”Ini bukan berarti saya tak menerima bayaran dari pasien, tetapi kepuasan bisa
membantu sesama yang tidak bisa dibayar dengan uang,” katanya sambil bercerita, sebagian pasien
yang datang dari desa suka membawakan pisang untuknya.
Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa lebih dari cukup untuk
membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi, dia dan sang istri, Maria Gan May Kwee atau Maria
Gandi, yang dinikahinya tahun 1968, tak memiliki anak.
”Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula orang seumur saya, seberapa
banyak sih makannya?” ujar Lo.
Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak pernah ”cuti” praktik. Lies (55), ibu dua anak, warga
Kepatihan Kulon, Solo, yang selama puluhan tahun menjadi pasiennya mengatakan, ”Dokter Lo praktik
pagi dan malam. Setiap kali saya datang tak pernah tutup. Sepertinya, dokter Lo selalu ada kapan pun
kami memerlukan.”
Sumber : http://mangkintahoo.blogspot.com/2015/06/kisah-dokter-asal-solo-dr-lo-siaw-ging.html